Senin, 04 Juni 2018

Israel dan Palestina saling tolak Visa


Oleh : Dedy Agung Prasetyo*

Polemik penolakan visa WNI ke Israel tengah menjadi sorotan. Mulai tanggal 9 Juni 2018 mendatang Israel dikabarkan akan menutup akses masuk bagi para turis Indonesia ke wilayahnya. Keputusan ini dinilai sebagai bentuk balasan Israel karena sebelumnya pemerintah Indonesia mengambil kebijakan menangguhkan visa bagi warga negara Israel yang berkunjung ke Indoesia. Kebijakan pelarangan warga Israel memasuki wilayah Indonesia adalah imbas dari pertumpahan darah warga Palestina saat berdemonstrasi di Jalur Gaza, Palestina, yang terjadi pada pertengahan Mei 2018 lalu menyusul pemindahan kantor kedubes AS di Jerusalem. Akibat ulah tentara Israel tersebut, menurut laporan terakhir, tidak kurang dari 120 warga Palestina tewas, 14 diantaranya anak-anak dan ratusan lainnya luka-luka. Tiba-tiba saya teringat slogan almarhum Gus Dur saat masih aktif menjadi politisi, “maju tak gentar membela yang benar”. Semangat keberpihakan inilah yang sesungguhnya hendak ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia kepada Israel dan Dunia bahwa Indonesia mengutuk keras tindakan brutal Israel terhadap yang lemah dan terjajah. Kebijakan ini tidak lain adalah wujud pembelaan nyata Indonesia untuk Palestina atas kebiadaban tentara zionis Israel.
Dalam konteks hubungan internasional dapat dipahami bahwa setiap kebijakan politik luar negeri pasti mengandung resiko, sekecil dan sebesar apapun resiko itu,  tidak terkecuali kebijakan diplomatik negara yang bahkan secara langsung dapat berimbas pada warga negaranya. Jika memang kebijakan itu dinilai perlu dan cukup strategis peranannya bagi strategi diplomasi negara maka resiko yang dikhawatirkan pun tidak menjadi persoalan sepanjang dapat dikendalikan, terukur, serta diprediksi tidak akan menjadi ancaman serius atau hambatan dalam waktu yang lama (hanya bersifat sementara).
Dalam konteks ini Israel telah memberlakukan kebijakan yang serupa dengan Indonesia sebagai aksi balasan. Lalu apa ruginya bagi Indonesia? Sesungguhnya Indonesia tidaklah rugi, mengingat Israel bukan tujuan pariwisata dunia yang menarik bagi Indonesia, Israel juga tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Bagi kebijakan politik luar negeri Indonesia, alih-alih mengakuinya sebagai sebuah negara, Indonesia tidak pernah mengakui Jerusalem sebagai bagian dari Israel. Sehingga semestinya memang tidak perlu ada kekhawatiran di pihak Indonesia. Tetapi yang tak terelakkan adalah kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Jerusalem secara fisik dikuasai oleh Israel. Sementara di sisi lain warga negara Indonesia baik umat muslim maupun umat kristiani memiliki animo yang cukup besar terhadap kota Jerusalem. Banyak  warga lndonesia yang melaksanakan ibadah umrah plus dengan fasilitas tambahan mengunjungi Masjid Al-Aqsa (sebagai masjid suci ketiga umat Muslim setelah masjid Al-Haram dan masjid Nabawi) serta makam Nabi Ibrahim As. Demikian halnya umat kristiani yang melakukan perjalanan wisata religi ke gereja makam kudus yang diyakini sebagai tempat Yesus kristus disalib maupun situs bersejarah lainnya. Menurut data dari Kemeterian Luar Negeri tercatat jumlah kunjungan turis Indonesia ke Jerusalem mencapai 40 ribu orang per tahun.


Status Kota Jerusalem
Secara de jure status jerusalem masih terikat dengan hukum internasional yaitu Resolusi Majelis Umum PBB nomor 181 (II) yang menyatakan Jerusalem sebagai corpus separatum, yang berarti wilayah Palestina yang terpisah yaitu wilayah internasional di bawah pengaturan PBB. Resolusi ini disahkan pada tanggal 29 November 1947 sebagai respon atas pengakhiran pendudukan Inggris di wilayah Palestina. Sedangkan secara de facto  keberadaan tentara Israel di wilayah Jerusalem memang sangat dominan, tetapi secara hukum internasional resolusi tersebut menegaskan bahwa sesungguhnya Jerusalem tidak di bawah kekuasaan siapapun, baik Palestina maupun Israel, melainkan dengan status kota internasional yang berada di bawah rezim administrasi PBB. Oleh karena itu pendudukan fisik Israel atas jerusalem sebagai kota Internasional adalah ilegal dan harus segera diakhiri.

Perundingan demi perundingan telah diupayakan sejak zaman pemimpin PLO Yasser Arafat hingga Presiden Mahmud Abbas. Resolusi demi resolusi PBB baik Majelis Umum maupun Dewan Keamanan telah diterbikan untuk pengupayakan solusi damai, tetapi Israel masih tetap dengan sikap brutalnya. Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 476 yang  tanggal 21 Agustus 1980 menegaskan kembali bahwa semua langkah Israel yang mengubah karakter geografis, demografis, dan sejarah maupun status Jerusalem dibatalkan dan tidak berlaku. Resolusi ini memang telah memberikan landasan hukum yang kuat mengenai status Jerusalem. Tetapi apalah gunanya resolusi jika tidak disertai dengan punishment bagi pelanggarnya.


Urgensi perlindungan militer dari PBB

Kebijakan penutupan akses kunjungan bagi WNI ke Israel tentu akan menghambat proses pemeriksaan turis Indonesia di wilayah Jerusalem meskipun mereka telah mengantongi visa, sebab setiap wisatawan / peziarah akan melewati pos-pos pemeriksaan otoritas tentara keamanan Israel. Semestinya hambatan soal pemeriksaaan oleh tentara Israel di Jerusalem ini tidak perlu ada apabila PBB bersikap tegas menempakan pasukan mliternya (tentara penjaga perdamaian) mengamankan wilayah itu dari kesewenang-wenangan tentara Israel, karena hal ini merupakan konsekuensi tanggungjawab PBB atas penetapan Jerusalem sebagai corpus separatum atau kota Internasional di bawah naungannya.

Imbas kebijakan penolakan Israel terhadap kunjungan warga negara Indonesia ini memang perlu dicarikan solusinya dan saya meyakini persoalan ini akan dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak lama. Apalagi jika akhirnya pemerintah bersikap melunak dan berkenan mencabut kebijakannya dengan membuka kembali akses bagi warga Israel ke Indonesia. Namun, jauh lebih penting dari pada itu, Indonesia dan negara-negara dunia yang concern terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia tidak boleh terus-menerus “kalah” atas pendudukan sepihak dan kebrutalan Israel yang telah begitu banyak memakan koban jiwa di Palestina. Keep fighting for the better Palestine!
*Penulis adalah Calon Hakim pada Mahkamah Agung RI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar