Jumat, 15 April 2011

ilegalitas intervensi NATO di Libya



Intervensi militer NATO di Libya Ilegal.
(by: Dedy agung Prasetyo)

Libya adalah negara di timur Tengah yang sudah empat dasa warsa dipimpin oleh orang yang sama Moammar Khadafi. Kepemimpinan Khadafi sebagai pemimpin libya menjadikan dirinya pemimpin paling lama di dunia di abad ke 21 ini. Situasi dalam negeri yang dinilai tidak banyak membawa perubahan positif bagi rakyat libya disertai dengan efek domino runtuhnya Kekuasaan Ben Ali di tunisia dan Husni Mubarak di Mesir telah memicu gelombang protes besar-besaran dari rakyat Libya menuntut agar Khadafy segera Mundur dari Jabatannya sebagai Presiden Libya.
 Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Libya, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.[1] Gelombang protes yang dilakukan oleh rakyat Libya tidak menunjukkan tanda-tanda Khadafi bersedia Mundur yang pada akhirnya Volume massa semakin hari semakin bertambah banyak dan demonstrasi terjadi hampir di seluruh kota. Bentrokan fisik pun tak terhindarkan dengan aparat keamanan. Keadaan semakin parah dengan sikap Khadafi yang merespon para pengunjuk rasa dan oposisi dengan serangan militer yang telah menewaskan ratusan korban jiwa. Tidak tanggung-tanggung, serangan militer tersebut dilakukan dari darat dan udara. Para demonstran yang notabene adalah penduduk sipil tentunya tidak berdaya dengan tekanan keras dari Khadafi ini.
Kondisi inilah yang menyita perhatian publik internasional terutama negara-negara maju. Liga Arab yang merupakan organisasi perkumpulan negara-negara di timur Tengah pun mengusulkan agar PBB segera menerbitkan Zona larangan terbang di atas Libya bagi jet-jet tempur tentara Pro Khadafi yang digunakan untuk menyerang para demonstran dan oposisi. Inggris dan Perancis yang sedari awal sepakat untuk mengusulkan Zona Larangan terbang kepada DK PBB semakin mendapatkan legitimasi ketika Liga Arab juga mempunyai keasamaan pandangan terkai usulan ini. Atas Desakan Perancis, inggris dan publik internasional, akhirnya keraguan AS atas kekhawatiran munculnya Pro dan kontra terhadap rencana tersebut  dijawab dengan menyatakan persetujuannya atas pengenaan Zona larangan terbang di atas Libya.
Akhirnya pada tanggal 18 maret[2], dengan suara mayoritas Para Anggota DK PBB sepakat memberlakukan Zona Larangan terbang di atas Libya dengan terbitnya Resolusi Dk PBB nomor 1973 namun pada prekteknya Khadafy mengabaikan resolusi tersebut  dengan tetap memerintahkan militer untuk menggempur para demonstran oposisi. Tentara Pro Khadafi masih tetap menerbangkan pesawat dan jet tempur untuk memukul mundur para demostran yang menuntut mundur Khadafi dari jabatannya sebagai presiden. Kondisi demikian memaksa Negara-negara NATO mengambil melakukan intervensi militer dengan dalih untuk menegakkan berlakunya Zona Larangan terbang yang diberlakukan di atas wilayah Udara Libya.
Selang beberapa minggu berlangsungnya Intervensi militer yang diharapkan bisa menghentikan aktifitas tentara pro khadafi tersebut, ternyata keberadaan tentara NATO di Libya tidak sedikit mengakibatkan jatuhnya Korban jiwa baik pihak militer maupun penduduk sipil Libya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kontroversi mengenai legalitas intervensi militer tersebut.

Tinjauan Hukum internasional
Terlepas dari konstelasi politik yang ada, jika dilihat dari perspektif hukum internasional setidaknya ada dua hal pokok yang mendasari kontradiksi intervensi militer negara-negara NATO ke Libya. Pertama, bahwa Hukum internasional menjunjung tinggi prinsip non-intervensi, dalam arti bahwa negara lain atau organisasi internasional manapun pada dasarnya tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara. Sebab kedaulatan negara adalah ius cogens yang tidak bisa diganggu gugat. Jika dalih yang digunakan oleh negara pengintervensi adalah over macht (keadaan yang memaksa), maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah intervensi militer adalah sikap yang paling tepat untuk menghentikan serangan Tentara Libya terhadap warga sipil? Sebuah keputusan besar yang seharusnya membutuhkan pertimbangan ribuan kali. Menurut hemat penulis, tindakan yang perlu diambil terlebih dahulu adalah melalui jalur negosiasi. Pada kenyataannya, pasca keluarnya Resolusi DK PBB 1973, DK tidak melakukan tindakan konkret agar ada pendekatan kultural kepada pemerintah Libya yang diharapkan bisa meredakan arogansi khadafi terhadap rakyatnya.
Kedua, intervensi militer yang awalnya didesain dalam rangka melindungi rakyat sipil di Libya dari tentara Pro Khadafi, justru malah mengakibatkan jumlah korban membludak menjadi ribuan jiwa dan puluhan ribu lainnya terpaksa harus mengungsi. Hal ini telah mengundang protes keras dari dunia internasional khususnya China dan Rusia. Biar bagaimanapun segala tindakan yang mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak bersalah tidak bisa dibenarkan. Bahkan banyak kalangan mengkategorikan intervensi militer di Libya tersebut adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanity).
Berpijak dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa intervensi militer secara hukum internasional adalah ilegal. Tindakan tersebut bukanlah opsi yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah pelik Libya. Sebab Fakta di lapangan menyatakan bahwa keberadaan militer NATO di Libya tidaklah menyelesaiakan masalah, tetapi justru menyebabkan masalah menjadi semakin kompleks.  
Bahkan dalam banyak hal, serangan militer negara-negara sekutu ini cenderung sulit dibedakan dengan kejahatan agresi. Tidak hanya jumlah korban sipil dan militer yang  banyak bejatuhan, namun juga penyerbuan tersebut telah menunjukkan kepada dunia bahwa Libya sedang berada dalam The big Multi Complex War. Penulis mengatakan perang di Libya dengan sebutan demikian sebab Perang tersebut melibatkan banyak pihak dan disinyalir ada banyak kepentingan dibalik intenvensi, yaitu Tentara pemerintah Presiden Moammar Khadafi di satu pihak dengan rakyat oposisi berasama dengan gabungan negara-negara NATO di pihak yang lain. Belum lagi sinyalemen bahwa Negara barat terutama Amerika serikat berkeinginan untuk menguasai ladang minyak Libya sebagaimana yang dilakukannya terhadap Irak 2003 silam.
Namun demikan harapan itu kini bak nasi yang sudah menjadi bubur, tapi sebelum bubur itu gosong dan tidak enak dimakan haruslah segera diangkat dari kobaran api kompor yang masih menyala. Sudah barang tentu masyarakat internasional tidak menginginkan adanya pertambahan  korban pada tingkat yang semakin memprihatinkan. Semestinya suara abstain dari China dan Rusia dalam penentuan resolusi DK 1973 dan sikapnya yang menentang keras intervensi militer libya bisa menjadi bahan pertimbangan kuat untuk menghentikan serangan negara-negara sekutu ke Libya. 



[1] Kompas. Com, diakses tanggal 2 april 2011

1 komentar: