Selasa, 05 Juni 2018

Menerjemahkan Arti Pancasila Dalam Konteks Kekinian


Oleh : Dedy Agung Prasetyo
Para pendiri bangsa ini telah bersepakat menetapkan konsensus nasionalnya, yaitu Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara yang berisi hal-hal yang menurut sifat dan berlakunya adalah universal. Di dalam falsafah ini mengatur tentang relasi antara warga bangsa dengan sang penciptaNya, Tuhan Yang Maha Esa, mengatur pula relasi di antara sesama warga bangsa dalam konteks hubungan antar individu, serta warga bangsa dengan negara sebagai pengikat simpul kebangsaan dengan organisasi yang mengaturnya. Jika menurut Ir.Soekarno, Pancasila bisa diperas menjadi sosionalisme, sosiodemokrasi dan dan ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga interaksi antar masyarakat, maupun antara masyarakat dengan negara akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan.

“Tidak ada bangsa yang mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu,dan jika tidak sesuatu yang dipercaya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang  peradaban besar”
(John Gardener, 1992) 

Secara harfiah Pancasila adalah lima dasar atau lima asas, yang merupakan dasar negara Indonesia. Asas tersebut terdiri dari Ketuhanan yang maha Esa, kemanusaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh ikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila sebagai ideologi hakikatnya adalah sebagai sistem nilai bangsa. Sistem nilai seperti ini dipandang oleh studi filsafat yang secara historis digali pada budaya bangsa dan ditempa oleh penjajahan, yang kemudian diterapkan pada wilayah yuridis kehidupan kenegaraan sebagai pedoman dalam mewujudkan integritas moral, nalar dalam berhukum, dan kedewasaan berpolitik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal itu sebagai konsensus nasional bangsa Indonesia melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Contoh penerapan nilai pancasila dalam bernegara adalah proses pembuatan peraturan perundang-udangan yang berlaku di Indonesia harus berdasarkan Pancasila dan isinya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.

 Merajut kebersamaan dengan gotong royong

Untuk mewujudkan tujuan bernegara yang maju adil dan sejahtera mutlak diperlukan adanya persatuan antar komponen bangsa. Jika tidak, tentu mustahil tujuan mulia itu akan dapat terwujud. Maka, kita sebagai generasi muda yang hidup di zaman globalisasi ini harus memperdalam dan benar-benar memahami makna dari Pancasila yang sebenarnya. Di zaman modern yang akrab dengan pemanfaatan teknologi canggih ini, seharusnya kita dapat dengan mudah menemukan informasi yang berguna dan berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila. Generasi muda juga harus menerapkan nilai-niai Pancasila dengan baik. Sebagai contoh, kita sebagai manusia yang berketuhanan wajib beribadah memeluk agama yang kita yakini dengan penuh kesungguhan, sebab pada dasarnya kualitas interaksi yang baik antara manusia dengan Tuhannya akan menjadikannya inspirasi positif dalam berperilaku dan bertindak. Di samping itu kita juga perlu menghargai terhadap sesama manusia, menumbuhkembangkan sikap saling toleransi, menghargai agama dan kepercayaan orang lain yang berbeda dengan kita. Semua itu diperlukan dalam menjaga harmoni kehidupan bermasyarakat.

Toleransi antar umat beragama mengokohkan kebhinekaan

Contoh lain dalam memaknai arti Pancasila adalah dengan adanya fenomena perkembangan media sosial (medsos). Informasi begiru cepat beredar sehingga ketika ada sebagian dari saudara kita yang tidak mampu, tertimpa musibah atau kemalangan maka kemudian secara responsif banyak dari kita tergugah untuk segera membantu, misalnya dengan mendonasikan sejumlah dana dalam membantu kalangan yang kurang beruntung tersebut. Kondisi ini tentu berbeda dengan kondisi jaman dahulu saat perkembangan teknologi informasi tidak secanggih seperti sekarang ini. Dengan demikian perkembangan teknologi komunikasi dan informasi semakin mempermudah generasi muda untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Menyatukan perbedaan dengan musyawarah

Sesungguhnya penerapan nilai-nilai pancasila dalam keseharian mengajarkan kita semua untuk tidak berfikiran sempit, justru sebaliknya, anugerah kemajemukan yang diberikan Allah SWT ini semestinya semakin membuka penerimaan kita terhadap setiap perbedaan yang ada. Generasi muda jaman now harus benar – benar dapat memahami bahwa sikap toleransi dan saling menghargai ini akan menjadi modal utama untuk merawat kebhinekaan demi masa depan Bangsa dan Negara Indonesia. Jangan karena berbeda agama menjadikan kita  terkotak-kotak dan bersikap sinis. Jangan hanya karena perbedaan pandangan politik menjadikan kita terpecah belah. Dan Jangan pula hanya karena perbedaan pendapat dengan orang-orang terdekat kita mengenai sesuatu hal menjadikan kita semakin berjarak dan bersekat. Semoga kita semua menjadi bagian generasi muda jaman now yang sukses dalam memaknai dan menerapkan nilai-nilai pancasila.

Senin, 04 Juni 2018

Israel dan Palestina saling tolak Visa


Oleh : Dedy Agung Prasetyo*

Polemik penolakan visa WNI ke Israel tengah menjadi sorotan. Mulai tanggal 9 Juni 2018 mendatang Israel dikabarkan akan menutup akses masuk bagi para turis Indonesia ke wilayahnya. Keputusan ini dinilai sebagai bentuk balasan Israel karena sebelumnya pemerintah Indonesia mengambil kebijakan menangguhkan visa bagi warga negara Israel yang berkunjung ke Indoesia. Kebijakan pelarangan warga Israel memasuki wilayah Indonesia adalah imbas dari pertumpahan darah warga Palestina saat berdemonstrasi di Jalur Gaza, Palestina, yang terjadi pada pertengahan Mei 2018 lalu menyusul pemindahan kantor kedubes AS di Jerusalem. Akibat ulah tentara Israel tersebut, menurut laporan terakhir, tidak kurang dari 120 warga Palestina tewas, 14 diantaranya anak-anak dan ratusan lainnya luka-luka. Tiba-tiba saya teringat slogan almarhum Gus Dur saat masih aktif menjadi politisi, “maju tak gentar membela yang benar”. Semangat keberpihakan inilah yang sesungguhnya hendak ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia kepada Israel dan Dunia bahwa Indonesia mengutuk keras tindakan brutal Israel terhadap yang lemah dan terjajah. Kebijakan ini tidak lain adalah wujud pembelaan nyata Indonesia untuk Palestina atas kebiadaban tentara zionis Israel.
Dalam konteks hubungan internasional dapat dipahami bahwa setiap kebijakan politik luar negeri pasti mengandung resiko, sekecil dan sebesar apapun resiko itu,  tidak terkecuali kebijakan diplomatik negara yang bahkan secara langsung dapat berimbas pada warga negaranya. Jika memang kebijakan itu dinilai perlu dan cukup strategis peranannya bagi strategi diplomasi negara maka resiko yang dikhawatirkan pun tidak menjadi persoalan sepanjang dapat dikendalikan, terukur, serta diprediksi tidak akan menjadi ancaman serius atau hambatan dalam waktu yang lama (hanya bersifat sementara).
Dalam konteks ini Israel telah memberlakukan kebijakan yang serupa dengan Indonesia sebagai aksi balasan. Lalu apa ruginya bagi Indonesia? Sesungguhnya Indonesia tidaklah rugi, mengingat Israel bukan tujuan pariwisata dunia yang menarik bagi Indonesia, Israel juga tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Bagi kebijakan politik luar negeri Indonesia, alih-alih mengakuinya sebagai sebuah negara, Indonesia tidak pernah mengakui Jerusalem sebagai bagian dari Israel. Sehingga semestinya memang tidak perlu ada kekhawatiran di pihak Indonesia. Tetapi yang tak terelakkan adalah kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Jerusalem secara fisik dikuasai oleh Israel. Sementara di sisi lain warga negara Indonesia baik umat muslim maupun umat kristiani memiliki animo yang cukup besar terhadap kota Jerusalem. Banyak  warga lndonesia yang melaksanakan ibadah umrah plus dengan fasilitas tambahan mengunjungi Masjid Al-Aqsa (sebagai masjid suci ketiga umat Muslim setelah masjid Al-Haram dan masjid Nabawi) serta makam Nabi Ibrahim As. Demikian halnya umat kristiani yang melakukan perjalanan wisata religi ke gereja makam kudus yang diyakini sebagai tempat Yesus kristus disalib maupun situs bersejarah lainnya. Menurut data dari Kemeterian Luar Negeri tercatat jumlah kunjungan turis Indonesia ke Jerusalem mencapai 40 ribu orang per tahun.


Status Kota Jerusalem
Secara de jure status jerusalem masih terikat dengan hukum internasional yaitu Resolusi Majelis Umum PBB nomor 181 (II) yang menyatakan Jerusalem sebagai corpus separatum, yang berarti wilayah Palestina yang terpisah yaitu wilayah internasional di bawah pengaturan PBB. Resolusi ini disahkan pada tanggal 29 November 1947 sebagai respon atas pengakhiran pendudukan Inggris di wilayah Palestina. Sedangkan secara de facto  keberadaan tentara Israel di wilayah Jerusalem memang sangat dominan, tetapi secara hukum internasional resolusi tersebut menegaskan bahwa sesungguhnya Jerusalem tidak di bawah kekuasaan siapapun, baik Palestina maupun Israel, melainkan dengan status kota internasional yang berada di bawah rezim administrasi PBB. Oleh karena itu pendudukan fisik Israel atas jerusalem sebagai kota Internasional adalah ilegal dan harus segera diakhiri.

Perundingan demi perundingan telah diupayakan sejak zaman pemimpin PLO Yasser Arafat hingga Presiden Mahmud Abbas. Resolusi demi resolusi PBB baik Majelis Umum maupun Dewan Keamanan telah diterbikan untuk pengupayakan solusi damai, tetapi Israel masih tetap dengan sikap brutalnya. Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 476 yang  tanggal 21 Agustus 1980 menegaskan kembali bahwa semua langkah Israel yang mengubah karakter geografis, demografis, dan sejarah maupun status Jerusalem dibatalkan dan tidak berlaku. Resolusi ini memang telah memberikan landasan hukum yang kuat mengenai status Jerusalem. Tetapi apalah gunanya resolusi jika tidak disertai dengan punishment bagi pelanggarnya.


Urgensi perlindungan militer dari PBB

Kebijakan penutupan akses kunjungan bagi WNI ke Israel tentu akan menghambat proses pemeriksaan turis Indonesia di wilayah Jerusalem meskipun mereka telah mengantongi visa, sebab setiap wisatawan / peziarah akan melewati pos-pos pemeriksaan otoritas tentara keamanan Israel. Semestinya hambatan soal pemeriksaaan oleh tentara Israel di Jerusalem ini tidak perlu ada apabila PBB bersikap tegas menempakan pasukan mliternya (tentara penjaga perdamaian) mengamankan wilayah itu dari kesewenang-wenangan tentara Israel, karena hal ini merupakan konsekuensi tanggungjawab PBB atas penetapan Jerusalem sebagai corpus separatum atau kota Internasional di bawah naungannya.

Imbas kebijakan penolakan Israel terhadap kunjungan warga negara Indonesia ini memang perlu dicarikan solusinya dan saya meyakini persoalan ini akan dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak lama. Apalagi jika akhirnya pemerintah bersikap melunak dan berkenan mencabut kebijakannya dengan membuka kembali akses bagi warga Israel ke Indonesia. Namun, jauh lebih penting dari pada itu, Indonesia dan negara-negara dunia yang concern terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia tidak boleh terus-menerus “kalah” atas pendudukan sepihak dan kebrutalan Israel yang telah begitu banyak memakan koban jiwa di Palestina. Keep fighting for the better Palestine!
*Penulis adalah Calon Hakim pada Mahkamah Agung RI


Jumat, 15 April 2011

ilegalitas intervensi NATO di Libya



Intervensi militer NATO di Libya Ilegal.
(by: Dedy agung Prasetyo)

Libya adalah negara di timur Tengah yang sudah empat dasa warsa dipimpin oleh orang yang sama Moammar Khadafi. Kepemimpinan Khadafi sebagai pemimpin libya menjadikan dirinya pemimpin paling lama di dunia di abad ke 21 ini. Situasi dalam negeri yang dinilai tidak banyak membawa perubahan positif bagi rakyat libya disertai dengan efek domino runtuhnya Kekuasaan Ben Ali di tunisia dan Husni Mubarak di Mesir telah memicu gelombang protes besar-besaran dari rakyat Libya menuntut agar Khadafy segera Mundur dari Jabatannya sebagai Presiden Libya.
 Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Libya, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.[1] Gelombang protes yang dilakukan oleh rakyat Libya tidak menunjukkan tanda-tanda Khadafi bersedia Mundur yang pada akhirnya Volume massa semakin hari semakin bertambah banyak dan demonstrasi terjadi hampir di seluruh kota. Bentrokan fisik pun tak terhindarkan dengan aparat keamanan. Keadaan semakin parah dengan sikap Khadafi yang merespon para pengunjuk rasa dan oposisi dengan serangan militer yang telah menewaskan ratusan korban jiwa. Tidak tanggung-tanggung, serangan militer tersebut dilakukan dari darat dan udara. Para demonstran yang notabene adalah penduduk sipil tentunya tidak berdaya dengan tekanan keras dari Khadafi ini.
Kondisi inilah yang menyita perhatian publik internasional terutama negara-negara maju. Liga Arab yang merupakan organisasi perkumpulan negara-negara di timur Tengah pun mengusulkan agar PBB segera menerbitkan Zona larangan terbang di atas Libya bagi jet-jet tempur tentara Pro Khadafi yang digunakan untuk menyerang para demonstran dan oposisi. Inggris dan Perancis yang sedari awal sepakat untuk mengusulkan Zona Larangan terbang kepada DK PBB semakin mendapatkan legitimasi ketika Liga Arab juga mempunyai keasamaan pandangan terkai usulan ini. Atas Desakan Perancis, inggris dan publik internasional, akhirnya keraguan AS atas kekhawatiran munculnya Pro dan kontra terhadap rencana tersebut  dijawab dengan menyatakan persetujuannya atas pengenaan Zona larangan terbang di atas Libya.
Akhirnya pada tanggal 18 maret[2], dengan suara mayoritas Para Anggota DK PBB sepakat memberlakukan Zona Larangan terbang di atas Libya dengan terbitnya Resolusi Dk PBB nomor 1973 namun pada prekteknya Khadafy mengabaikan resolusi tersebut  dengan tetap memerintahkan militer untuk menggempur para demonstran oposisi. Tentara Pro Khadafi masih tetap menerbangkan pesawat dan jet tempur untuk memukul mundur para demostran yang menuntut mundur Khadafi dari jabatannya sebagai presiden. Kondisi demikian memaksa Negara-negara NATO mengambil melakukan intervensi militer dengan dalih untuk menegakkan berlakunya Zona Larangan terbang yang diberlakukan di atas wilayah Udara Libya.
Selang beberapa minggu berlangsungnya Intervensi militer yang diharapkan bisa menghentikan aktifitas tentara pro khadafi tersebut, ternyata keberadaan tentara NATO di Libya tidak sedikit mengakibatkan jatuhnya Korban jiwa baik pihak militer maupun penduduk sipil Libya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kontroversi mengenai legalitas intervensi militer tersebut.

Tinjauan Hukum internasional
Terlepas dari konstelasi politik yang ada, jika dilihat dari perspektif hukum internasional setidaknya ada dua hal pokok yang mendasari kontradiksi intervensi militer negara-negara NATO ke Libya. Pertama, bahwa Hukum internasional menjunjung tinggi prinsip non-intervensi, dalam arti bahwa negara lain atau organisasi internasional manapun pada dasarnya tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara. Sebab kedaulatan negara adalah ius cogens yang tidak bisa diganggu gugat. Jika dalih yang digunakan oleh negara pengintervensi adalah over macht (keadaan yang memaksa), maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah intervensi militer adalah sikap yang paling tepat untuk menghentikan serangan Tentara Libya terhadap warga sipil? Sebuah keputusan besar yang seharusnya membutuhkan pertimbangan ribuan kali. Menurut hemat penulis, tindakan yang perlu diambil terlebih dahulu adalah melalui jalur negosiasi. Pada kenyataannya, pasca keluarnya Resolusi DK PBB 1973, DK tidak melakukan tindakan konkret agar ada pendekatan kultural kepada pemerintah Libya yang diharapkan bisa meredakan arogansi khadafi terhadap rakyatnya.
Kedua, intervensi militer yang awalnya didesain dalam rangka melindungi rakyat sipil di Libya dari tentara Pro Khadafi, justru malah mengakibatkan jumlah korban membludak menjadi ribuan jiwa dan puluhan ribu lainnya terpaksa harus mengungsi. Hal ini telah mengundang protes keras dari dunia internasional khususnya China dan Rusia. Biar bagaimanapun segala tindakan yang mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak bersalah tidak bisa dibenarkan. Bahkan banyak kalangan mengkategorikan intervensi militer di Libya tersebut adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanity).
Berpijak dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa intervensi militer secara hukum internasional adalah ilegal. Tindakan tersebut bukanlah opsi yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah pelik Libya. Sebab Fakta di lapangan menyatakan bahwa keberadaan militer NATO di Libya tidaklah menyelesaiakan masalah, tetapi justru menyebabkan masalah menjadi semakin kompleks.  
Bahkan dalam banyak hal, serangan militer negara-negara sekutu ini cenderung sulit dibedakan dengan kejahatan agresi. Tidak hanya jumlah korban sipil dan militer yang  banyak bejatuhan, namun juga penyerbuan tersebut telah menunjukkan kepada dunia bahwa Libya sedang berada dalam The big Multi Complex War. Penulis mengatakan perang di Libya dengan sebutan demikian sebab Perang tersebut melibatkan banyak pihak dan disinyalir ada banyak kepentingan dibalik intenvensi, yaitu Tentara pemerintah Presiden Moammar Khadafi di satu pihak dengan rakyat oposisi berasama dengan gabungan negara-negara NATO di pihak yang lain. Belum lagi sinyalemen bahwa Negara barat terutama Amerika serikat berkeinginan untuk menguasai ladang minyak Libya sebagaimana yang dilakukannya terhadap Irak 2003 silam.
Namun demikan harapan itu kini bak nasi yang sudah menjadi bubur, tapi sebelum bubur itu gosong dan tidak enak dimakan haruslah segera diangkat dari kobaran api kompor yang masih menyala. Sudah barang tentu masyarakat internasional tidak menginginkan adanya pertambahan  korban pada tingkat yang semakin memprihatinkan. Semestinya suara abstain dari China dan Rusia dalam penentuan resolusi DK 1973 dan sikapnya yang menentang keras intervensi militer libya bisa menjadi bahan pertimbangan kuat untuk menghentikan serangan negara-negara sekutu ke Libya. 



[1] Kompas. Com, diakses tanggal 2 april 2011

Selasa, 07 Desember 2010

Badan HAM ASEAN

By Igor Dirgantara

A. Komitmen Indonesia dalam Pembentukan Badan HAM ASEAN Sebagai Wujud Kepenting an Nasional



Diplomasi adalah instrument untuk melaksanakan Politik Luar Negeri suatu Negara yang bersumber pada Kepentingan Nasional dari negara tersebut. Bisa dikatakan bahwa Kepentingan Nasional merupakan tujuan dari politik suatu negara memegang peranan yang sangat besar dalam pelaksanaan diplomasi suatu negara. Kepentingan nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Dalam masalah pembentukan Badan HAM  ASEAN, jelas bahwa Diplomasi Indonesia yang bersumber dari kepentingan nasionalnya harus diarahkan untuk mempertahankan komitmen negara anggota ASEAN menjadikan hak asasi manusia sebagai norma dan nilai bersama ASEAN (common values) sebagaimana tercantum dalam Piagam ASEAN. Komitmen tersebut harus disertai dengan dukungan nyata dari negara anggota ASEAN bagi eksistensi dan kemajuan Komisi HAM ASEAN. Tantangan riil yang harus dijawab sesegera mungkin adalah Pemilu Myanmar yang akan dilaksanakan pada tahun 2010 tanpa keikutsertaan tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi. Menjadi harapan masyarakat ASEAN agar Komisi HAM ASEAN menjadi sebuah solusi efektif bagi masalah-masalah HAM yang selama ini melemahkan peran dan citra ASEAN di kancah internasional.[1] Memang di kalangan negara-negara ASEAN, Indonesia sekarang ini mempunyai kepercayaan yang tinggi dalam menyuarakan masalah HAM dan Demokrasi.  Terdapat dua sisi yang menarik untuk dicermati dilihat dari perspektif ASEAN dan kepentingan Indonesia. Ditinjau dari perspektif ASEAN, pembentukan Komisi HAM ASEAN merupakan sebuah langkah maju dalam penguatan nilai-nilai HAM di ASEAN dan memberikan peluang yang lebih besar akan perbaikan implementasi dan penegakan HAM di ASEAN. Sedangkan dilihat dari kepentingan Indonesia, Komisi HAM ASEAN dapat menjadi salah satu instrumen penguatan peran diplomasi Indonesia berbasis kekuatan norma (normative power) di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu,  Diplomasi Indonesia diarahkan  bagi pembentukan Komisi HAM ASEAN atau AICHR di Asia Tenggara. Hal ini sangat terlihat jelas melalui komitmen pemerintah Indonesia secara aktif mendorong terwujudnya badan Hak Azasi Manusia (HAM) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sekalipun banyak pihak meragukan komitmen ASEAN mewujudkan suatu badan HAM yang kredibel.

Hal tersebut dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada KTT ke 14 ASEAN di Hua Hin, tahun 2009 . Myanmar selama ini dianggap masalah karena negeri itu diperintah oleh junta militer. Sebelumnya pada tahun 2008, Parlemen Indonesia (DPR-RI) juga mendorong pembentukan Badan HAM ASEAN, sebagai implementasi dari Asean Charter yang telah diratifikasi 10 negara Asia Tenggara tersebut.[2]
B. Dukungan Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsi Proteksi di Dalam Badan HAM ASEAN
Bagi Indonesia, sebuah Badan HAM tidak hanya semata-mata untuk promosi tapi harus melakukan juga fungsi proteksi. Apalagi fungsi proteksi dan promosi. Rancangan awal kerangka acuan (terms of reference) Badan Hak Asasi Manusia ASEAN dinilai masih terlalu lemah. Indonesia menekankan perlunya keseimbangan antara fungsi promosi dan fungsi perlindungan guna menguatkan fungsi serta tugas badan tersebut. Pernyataan yang cukup keras dari Indonesia ini telah disampaikan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda di sela-sela pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Hua Hin, Thailand tahun 2009 yang lalu.  Hassan Wirajuda saat itu dengan tegas menyampaikan adanya keperluan ASEAN memiliki mekanisme HAM yang kuat sehingga setiap masalah pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan melalui mekanisme HAM ASEAN sendiri. Dengan demikian, hal itu akan meminimalkan campur tangan pihak di luar ASEAN.[3]
Hassan Wirajuda menilai bahwa mandat AICHR yang disebutkan dalam TOR itu tidak seimbang. Padahal, ada standar-standar yang bisa digunakan sebagai perbandingan, baik standar internasional di bawah PBB, standar regional pada organisasi-organisasi regional lain, seperti Uni Afrika (AU) dan Organisasi Negara-negara Amerika (OAS), serta standar nasional Indonesia yang tercermin pada Komisi Nasional (Komnas) HAM.
Dalam poin 4 TOR AICHR, bagian mengenai Mandat dan Fungsi-fungsi, ada 14 hal yang merupakan mandat dan fungsi AICHR itu. Dari 14 poin itu, tidak ada satu pun secara khusus dan detail terkait dengan perlindungan HAM, seperti keharusan menyinkronkan peraturan perundangan sehingga selaras dengan perlindungan HAM, keharusan menyampaikan laporan periodik mengenai perlindungan HAM yang mendapat perhatian luas, apalagi mendorong keterbukaan negara-negara anggota ASEAN untuk menerima misi pemantau HAM dari ASEAN sebagai lembaga, ataupun badan-badan HAM yang sudah ada di beberapa negara anggota ASEAN.[4]
Di dalam proses negosiasi Pembentukan Badan HAM, fungsi proteksilah yang paling banyak mengalami kesulitan. Terutama dari negara-negara yang mempunyai sistim politik yang otoriter seperti di Singapura, Vietnam, kemudian Laos dan kemudian juga sedikit Kamboja. Indonesia adalah salah satu negara anggota  ASEAN yang mendesak agar Badan HAM ASEAN yang terbentukberfungsi seperti apa yang ada di dalam badan antara pemerintah lain di tingkat dunia, yaitu Badan HAM di PBB.[5]
Lebih jauh, ASEAN Political Security Community Blueprint juga telah menegaskan bahwa Terms of Reference pembentukan Badan HAM ASEAN harus telah selesai selambat-lambatnya pada tahun 2009. Terkait hal ini, sebagaimana dinyatakan Presiden Yudhoyono tersebut diatas, Indonesia berusaha memainkan peran penting dalam membahas HAM di ASEAN sebagai wujud kepentingan nasional bangsa Indonesia melalui instrumen diplomasi di forum multilateral seperti ASEAN, di kawasan Asia Tenggara, di mana Indonesia merupakan salah satu anggotanya.
ASEAN sebelumnya dikenal sebagai perhimpunan negara-negara konservatif dan tidak demokratis dalam masalah HAM. Ketidakberanian melakukan tekanan terhadap Myanmar dan sikap cultural relativism negara-negara ASEAN membuat banyak orang meragukan efektivitas Badan HAM ASEAN. Sebaliknya, pendekatan minimalis melihat hal ini sebagai langkah besar ASEAN yang sebelumnya tidak pernah memasukkan masalah HAM dan demokrasi sebagai salah satu unsur regionalisme ASEAN yang terbuka. ASEAN tidak dapat menghindar dari pembahasan HAM. Pertama, dorongan dari dalam ASEAN amat besar, terutama karena demokratisasi di Indonesia. Harus diakui, dengan segala kerumitannya, demokratisasi adalah prestasi terbesar Indonesia.
Indonesia mempunyai bobot lebih besar saat membahas HAM dan demokrasi. Pejabat pemerintah, LSM, peneliti, dan akademisi Indonesia tampak lebih lugas dalam menyuarakan demokrasi dan HAM dalam interaksinya dengan negara dan masyarakat ASEAN.[6]
Memang di kalangan negara-negara ASEAN, kini Indonesia mempunyai credential kuat dalam menyuarakan HAM dan demokrasi. Barangkali HAM bisa menjadi ikon baru diplomasi Indonesia dalam mengembangkan komunitas ASEAN.
Kedua, tumbuh kesadaran kuat di ASEAN bahwa pelanggaran HAM di suatu negara bisa menimbulkan ancaman keamanan bagi negara lain dan kawasan. Masalah HAM di Myanmar adalah contoh tentang pengaruh situasi HAM di suatu negara terhadap interaksi di dalam dan di luar kawasan. ASEAN sering harus membela posisinya dalam masalah HAM di Myanmar saat berhadapan dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat. Secara substansi, hal ini merupakan ujian bagi komunitas ASEAN yang bersifat people-oriented. Sementara itu, secara simbolik masalah HAM adalah taruhan reputasi ASEAN di dunia internasional yang telah mengumandangkan pembangunan ekonomi, HAM, dan keamanan sebagai tiga pilar perdamaian internasional.[7]
Karena itu, negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, berkepentingan untuk menjadikan Badan HAM ASEAN kredibel. Untuk itu, perlu diperjelas mandat Badan HAM ASEAN. Dalam APSC Blueprint jelas, upaya untuk mempromosikan dan melindungi HAM ditekankan pada pembentukan kesadaran tentang HAM, identifikasi beberapa mekanisme perlindungan HAM, bentuk kerja sama, instrumen dan komisi ASEAN untuk promosi serta perlindungan HAM. Sampai Sekarang, belum ada kejelasan tentang mandat untuk melakukan penilaian, monitoring, pelaporan, penyelidikan, serta mengambil langkah tertentu untuk menyelesaikan masalah-masalah HAM di negara-negara anggota.(Karena itu, negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, berkepentingan untuk menjadikan Badan HAM ASEAN kredibel. Untuk itu, perlu diperjelas mandat Badan HAM ASEAN. Dalam APSC Blueprint jelas, upaya untuk mempromosikan dan melindungi HAM ditekankan pada pembentukan kesadaran tentang HAM, identifikasi beberapa mekanisme perlindungan HAM, bentuk kerja sama, instrumen dan komisi ASEAN untuk promosi serta perlindungan HAM. Sampai sekarang, belum ada kejelasan tentang mandat untuk melakukan penilaian, monitoring, pelaporan, penyelidikan, serta mengambil langkah tertentu untuk menyelesaikan masalah-masalah HAM di negara-negara anggota.[8]
Meski ini masih sulit dicapai dalam waktu dekat, masalah HAM hadir setiap saat dan karena itu sumbangan nyata badan ini untuk menyelesaikan masalah-masalah HAM harus dipikirkan sejak sekarang. Konsekuensinya, ASEAN harus mengembangkan standardisasi/kriteria tingkatan keadaan HAM negara-negara anggota untuk menilai dan membuat laporan, mengembangkan early warning HAM, dan kriteria atau syarat minimal untuk melakukan penyelidikan dan tindakan tertentu. Dalam kaitan ini, cultural relativism dalam HAM tidak dapat diberlakukan. Prinsip-prinsip universal tentang HAM harus mendasari Badan HAM ASEAN. ASEAN yang bersifat people-oriented tidak dapat dicapai jika ASEAN mempertahankan kemutlakan kedaulatan nasional dalam masalah HAM.
Itu sebabnya pada tahun 2009, Mantan Menlu Hasan Wirajuda pernah mengkritik sikap sejumlah negara ASEAN dalam soal penegakkan hak asasi manusia (HAM) dan dengan tegas berjanji akan mempertanyakan korelasi prinsip non intervensi dalam pemajuan dan penegakkan HAM di Asia Tenggara. Hassan Wirajuda berulangkali menegaskan bahwa paradigma ASEAN mengenai HAM mesti bergeser dari pendirian selama ini, namun tetap dengan menghormati kedaulatan dan integritas negara-negara anggota ASEAN.[9]
Selanjutnya masalah lain yang juga signifikan adalah keanggotaan Badan HAM  ASEAN. Keanggotaan Badan HAM ASEAN harus mencerminkan state-holders HAM sekaligus untuk membentuk independensinya, yaitu yang terdiri dari unsur pemerintah, para ahli, dan civil society. Jika tidak, ASEAN akan menjadi organisasi regional yang bersifat state-centric yang jauh dari karakter komunitas dengan sifat ke-kita-an (we feeling) seluruh warga ASEAN. Keragaman keanggotaan berdampak pada posisi kelembagaan Badan HAM ASEAN. Di mana Badan HAM ASEAN akan diletakkan, bertanggung jawab kepada siapa? Dan siapakah yang memilih ketua Badan HAM ASEAN?
C. Pentingnya Isu HAM Bagi Indonesia Sebagai Norma Dan Nilai Bersama di ASEAN (Common Values)
Sejak tahun 1990-an, isu HAM semakin penting sejajar dengan isu demokrasi, lingkungan hidup, perdagangan bebas dan terorisme. Sebagai suatu isu lintas negara, maka untuk memajukan dan melindungi HAM diperlukan suatu kerjsama, baik di tingkat regional maupun multilateral. Di tingkat regional, kerjasama tersebut dapat berupa pertukaran informasi di bidang HAM di antara negara-negara ASEAN atau pembentukan suatu mekanisme HAM ASEAN. Komitmen negara-negara ASEAN dalam menegakkan HAM antara lain tercermin dalam Pernyataan Bersama Para Menlu ASEAN di Singapura Juli 1993 dan Deklarasi AIPO (ASEAN Inter Parliamentary Organization) mengenai HAM di Kuala Lumpur, Agustus 1993 serta keikutsertaan seluruh negara ASEAN dalam Konperensi Dunia mengenai HAM di Wina, juai pembentukan sebuah pengaturan atau suatu mekanisme HAM regional guna memajukan dan melindungi HAM.
Gagasan untuk membentuk suatu mekanisme HAM regional disambut baik dan dikembangkan oleh Working Group for an ASEAN Human Rights Mechanism, yaitu kelompok pemerhati HAM di kawasan Asia Tenggara, dan bekerjasama dengan lembaga pemerintah serta LSM di bidang HAM. AMM ke-31 di Manila tahun 1998 mencatat pembentukan kelompok kerja informal non pemerintah untuk Mekanisme HAM ASEAN (MHA) tersebut. Dengan adanya mekanisme HAM ASEAN diharapkan persepsi negara-negara ASEAN mengenai HAM beserta upaya-upaya penegakan HAM lebih dipahami oleh pihak luar dan kerjasama ASEAN di bidang penegakan dan perlindungan HAM dapat ditingkatkan. Menyadari arti pentingnya pembentukan mekanisme HAM ASEAN, Direktorat mengenai “Kerjasama ASEAN dalam Upaya Menuju Terbentuknya Mekanisme di Bali serta kegiatan pengumpulan data dari beberapa tempat baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam konteks menindaklanjuti upaya untuk mendorong terbentuknya Mekanisme HAM ASEAN tersebut di atas, Indonesia berkepentingan  untuk memberikan ide-ide baru dan segar melalui forum-forum diskusi kerjasama ASEAN di bidang HAM.
Upaya ini dilakukan Indonesia dengan melakukan kerjasama yang erat antara Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Departemen Luar Negeri dengan Working Group for an ASEAN Human Rights Mechanism-Indonesia, Direktorat Jenderal Perlindungan, HAM Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia serta Komite Nasional HAM.
D. Reformasi Indonesia sebagai Contoh di Asia Tenggara
Seiring  dengan pembenahan kehidupan demokrasinya, bangsa Indonesia telah melakukan 4 kali amandemen UUD 45. Beberapa hal yang diamandemen adalah menyangkut kekuasaan eksekutif, pemilihan presiden secara langsung serta jaminan atas hak-hak asasi manusia. Salah satu elemen penting dalam prinsip demokrasi adalah penghormatan HAM. Meskipun sedang menghadapi berbagai masalah dalam masa transisi ini, pemerintah Indonesia tetap memiliki komitmen tinggi bagi pemajuan dan perlindungan HAM. Komitmen tersebut tercermin antara lain berbagai upaya di bidang legislasi sesuai mandate Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998.
Sejalan dengan proses reformasi nasional, HAM telah menjadi pilar penting dalam proses kehidupan politik dan kemasyarakatan di Indonesia. HAM dan demokrasi tidak dapat dipisahkan dalam proses pembangunan nasional di Indonesia. Komitmen tinggi Pemerintah Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan HAM tercermin dalam berbagai keterlibatannya baik di tingkat nasional, regional maupun dalam forum-forum PBB.
Pelaksana HAM di Indonesia dapat dikatakan telah menunjukkan kemajuan paska era reformasi tahun 1998. Beberapa indikatornya antara lain adanya kebebasan pers, meningkatnya jumlah partai politik peserta pemilu serta munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperjuangkan dan menangani advokasi masalah HAM. Selain itu, Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah memasukkan pasal 28A-28J mengenai HAM dalam perubahan kedua UUD Nasional untuk masalah HAM (RAN-HAM) dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Isu mengenai HAM juga sejalan dengan Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dijabarkan dalam Repeta 2002 nomor 4 butir 2: “Peningkatan Kerjasama Bilateral, Regional dan Global Multilateral” dengan rencana tindak melanjutkan survei di bidang hukum mengenai ratifikasi berbagai Konvensi yang berkaitan dengan pembahasan hak-hak politik, HAM, ekonomi, sosial dan humaniter.
Sejauh ini Indonesia telah meratifikasi 4 Core Convension HAM PBB yaitu :[10]
  1. Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi Terhadap Perempuan – Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (diratifikasi dengan UU No. 7, 1984);
  2. Konvensi Hak Anak – Convention on the Rights of the Child (diratifikasi dengan Keppres No. 36, 1990);
  3. Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Beracun serta Pemusnahnya – Convention on the Prohibition of the Development, Production and Stockpiling of Bacteriological (Biological) and Toxic Weapons and on their Destruction (diratifikasi dengan Keppresm No. 58, 1991);
  4. Konvensi Penghapusan Penyiksaan dan Konvensi Pengapusan Diskriminasi; serta proses untuk meratifikasi ICESCR dan ICCPR.
Upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kesatupaduan, keseimbangan dan pengakuan atas kondisi nasional. Prinsip kesatupadua artinya Indonesia mengakui aspek sipil dan politik dari HAM yang tidak dapat dipisahkan dengan aspek ekonomi, sosial dan budaya termasuk hak atas pembangunan sesuai Deklarasi dan Program Visi Wina Tahun 1993.
Prinsip keseimbangan mengandung pengertian bahwa Indonesia menitikberatkan pada keseimbangan antara hak individu dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, faham HAM di Indonesia tidak bersifat individualistik. Indonesia mengakui bahwa HAM bersifat universal dan masyarakat internasional juga telah mengakui dan menyepakati bahwa pelaksanaannya merupakan wewenang dan tanggung jawab setiap pemerintah negara dengan memperhatikan sepenuhnya keanekaragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem politik, tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi serta faktor-faktor lain yang memiliki bangsa yang bersangkutan.
Untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM di Indonesia serta memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang pelaksanaan HAM, pemerintah telah membentuk “Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia” (Komnas HAM) tahun 1993, yang dibentuk sesuai dengan Paris Principle. Tujuannya adalah untuk membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan UUD 1945, Pancasila dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM untuk meningkatkan perlindungan HAM, guna mendukug terwujudnya pembangunan nasional.[11]
Pada 8 September 1999, DPR menyetujui usulan pemerintah dan mensahkan UU No. 39/199. UU ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan tidak dihilangkan nyawa, hak keluarga dan melanjutkan keturunan, serta hak mengembangkan diri, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak perempuan, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur HAM, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam menegakkan HAM. Juga Undang-undang ini mengatur Komnas HAM sebagai lembaga yang mandiri, yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, pendidikan, penyuluhan, pemantauan dan Mediasi HAM. UU tersebut juga membuka kemungkinan didirikannya perwakilan Komisi HAM di daerah-daerah (KOMDAHAM) karena sebagian besar pelanggaran HAM yang serius justru di daerah seperti : Aceh, Papua, Maluku dan Sulawesi Selatan.[12]
Sementara itu, proses otonomi daerah yang telah berlangsung sejak 1 Januari 2001 di satu pihak memberi peluang bagi kemajuan HAM, namun di pihak lain membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat daerah. Oleh karena itu, desentralisasi pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia makin signifikan. Salah satu ukuran dari desentralisasi mekanisme ini adalah berdirinya komisi-komisi daerah hak asasi manusia. Dalam hal ini, konteks lokal dipertimbangkan untuk menentukan bentuk komisi di daerah yang bersangkutan.
Dalam menanggapi pelanggaran HAM berat di Timtim, pemerintah RI menekankan bahwa gagasan untuk membentuk tribunal internasional tidak ada dasarnya, dengan argumen bahwa : sesuai dengan prinsip hukum internasional, suatu mekanisme internasional (tribunal and iquity commision) hanya berperan sebagai pelengkap bagi mekanisme nasional, yang hanya diterapkan apabila telah dilakukan “exhaustion of national remedies” yang berdasarkan prinsip internasional, pengadilan internasional hanya dilakukan apabila tidak ada kemauan dan kemampuan dari negara yang bersangkutan untuk melakukan peradilan yang fair dan efektif terhadap kasus-kasus yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional tersebut. Upaya diplomasi untuk meyakinkan masyarakat internasional agar memberikan kepercayaan kepada pemerintah Indonesia dalam penanganan kasus-kasus Timtim diperkuat dengan langkah-langkah di dalam negeri, terutama langkah preventive dengan pembentukan KPP-HAM Timtim pada tanggal 22 September 1999 dan pembentukan pengadilan HAM ad Hoc berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 96 Tahun 2001, untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran berat HAM Tim-Tim yang prosesnya masih berjalan hingga saat ini.[13]
Beberapa tantangan dalam upaya perlindungan dan pemajuan HAM adalah timbulnya berbagai konflik horizontal maupun vertikal yang disebabkan kurangnya pemahaman aturan yang berlaku baik di tatanan nasional maupun internasional. Upaya pemajuan HAM di Indonesia paska reformasi dicatat lebih menekankan kepada penegakan hak sipil dan hak politik. Sedangkan advokasi terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya kurang mendapat tempat yang semestinya, demikian pula penegakan terhadap hak atas pembangunan. Oleh karena itu, upaya prinsip ketidakterpisahkan atau prinsip saling ketergantungan antara satu hak asasi dengan hak asasi manusia lainnya.
Penegakan HAM harus dilakukan dalam seluruh proses demokrasi dan penegakan hukum artinya penegakan HAM harus sesuai dengan jalur hukum dan terpenuhinya rasa keadilan termasuk di dalamnya penegakan HAM lewat proses “Transitional Justice”, serta pembentukan Komisi Rekonsiliasi dan kebenaran untuk mempertimbangkan proses pemaafan terutama terhadap pelanggaran HAM di masa lalu. Di dalam prinsip-prinsip “Transitional Justice” antara lain : penindakan terhadap pelaku pelanggaran HAM di masa depan. Penegakan HAM di Indonesia nampaknya masih memerlukan komitmen yang lebih sungguh-sungguh dari lembaga legistlatif, pemerintah dan lembaga peradilan serta dukungan dari lembaga swadaya masyarakat, elemen-elemen masyarakat madani dan masyarakat pada umumnya.[14]
Mengenai gagasan pembentukan mekanisme HAM ASEAN, Indonesia mendukung gagasan tersebut, bahkan menjadi salah satu Negera penggerak utama dalam upaya mewujudkan gagasan tersebut, karena hal itu merupakan kepentingan spesifik bagi Indonesia yang harus diperjuangkan. Selain memiliki Komnas HAM dan bebagai LSM yang aktif bererak di bidang pemajuan dan perlindungan HAM, Indonesia memiliki Direktur Jenderal Perlindungan HAM di bawah Menteri Kehakiman dan HAM. Masalah HAM Internasional menjadi tanggung jawab Direktorat HAM, Kebudayaan dan Sosial Negeri. Masalah HAM ASEAN berada di bawah Direktorat Polkam ASEAN, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Departemen Luar Negeri. Perlunya penekanan pada pelaksanaan proses hukum dalam penanganan HAM, dimana perluada suatu “political will and political decision” pada tingkat nasional untuk menjembatani kesenjangan persepsi yang timbul antara pemerintah dan masyarakat dalam hal penanganan pelanggaran hukum dan pelangaran HAM, disamping untuk menghindari proses dan campur tangan dari luar (peradilan internasional) terhadap masalah-masalah penanganan hukum dan HAM.[15]
Dalam sebuah Lokakarya  di Jakarta, Indonesia semakin memperkuat komitmennya sebagai bentuk amanat kepentingan nasionalnya untuk   mensosialisasikan gagasan pembentukan MHA dan penegakan HAM di tingkat nasional serta mencari masukan bagi kerjasama ASEAN dalam upaya menuju terbentuknya mekanisme HAM ASEAN. Lokakarya kemudian menghasilkan beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut :
  1. Mekanisme HAM ASEAN diharapkan dapat menjadi output dari suatu strategi yang terpadu dan kokoh bagi pelaksanaan HAM di ASEAN.
  2. Pentingnya penanganan HAM lokal di masing-masing negara anggota ASEAN, dimana dengan pelaksanaan HAM lokal melalui mekanisme yang dapat diterima oleh masyarakat, diharapkan dapat memberikan masukan positif bagi pelaksanaan HAM di tingkat regional.
  3. Perlunya pendekatan secara multi-track dengan memadukan secara terus menerus peran pemerintah, organisasi sosial-politik dan kemasyarakatan serta semua unsur masyarakat dan warganegara.
  4. 4. Indonesia akan terus mendorong pembentukan mekanisme HAM ASEAN melalui realisasi kerjasama ASEAN di bidang HAM sesuai dengan Ha Noi Plan of Action yang telah disepakati oleh para pemimpin ASEAN sebagai sarana untuk mewujudkan ASEAN Vision 2020.[16]
E. Indonesia dan Tantangan Pembentukan Mekanisme HAM ASEAN
Dalam Piagam ASEAN Bab I, pasal 1 (ayat 7) yang dikatakan sebagai Komunitas ASEAN adalah sebuah komunitas yang ditujukan untuk memperkuat demokrasi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Komunitas yang dimaksud adalah sebuah masyarakat yang mampu memberikan ruang yang lebih besar bagi nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, negara-negara anggota ASEAN harus memiliki semangat penghargaan atas HAM dan kepercayaan pada Demokrasi. Salah satu implementasi yang sangat penting berkaitan dengan persoalan diatas adalah pembentukan Badan Hak Asasi Manusia ASEAN, sebagaimana diamanatkan di dalam pasal 14 ASEAN Charter.  Disini, Komunitas ASEAN 2015 harus bisa dimanfaatkan tidak cuma untuk menjaga stabilitas keamanan tetapi juga untuk menyebarkan penegakan HAM dan demokrasi.[17]
Permasalahan yang dihadapi dalam usaha memformulasikan suatu kebijakan mengenai masalah HAM di Asia Tenggara adalah masih terdapatnya kendala diantara pemerintah negara-negara ASEAN dalam menemukan kesamaan pandangan mengenai visi dan penerapan HAM di kawasan.
Jika melihat dari Deklarasi Wina, khususnya paragraph 5 (lima), dinyatakan bahwa : “All human rigths are univrsal, indivisible and enterdependent and interrelated. The international community must treat human rights globally in a fair and equel manner on the same footing and with the same emphasis. While the significance of national and regional particularities and various historical., cultural and religious background must be borne in mind.it is the duty of the states, regardless of their political, economic and cultural systems, to ptomote and protect all human rights and fundamendal freedoms”. Namun demikiaa, hingga dekade 90-an, beberapa pemimpin ASEAN masih beranggapan bahwa negara-negara barang seringkali mendikte negara-negara di bagian dunia lain, seperti negara-negara timur, mengenai masalah HAM. Secara umum, beberapa negara-negara ASEAN masih berpandangan bahwa masalah HAM adalah merupakan masalah dalam negeri masing-masing. Beberapa negara anggota ASEAN juga menyatakan bahwa meskipun mereka mengakui masalah HAM bersifat universal, namun terdapat perbedaan dengan masalah yang dihadapi pada tingkat regional seperti kawasan Asia Tenggara.
Tantangan lain yang harus dihadapi adalah minimnya perhatian yang diberikan negara-negara ASEAN dalam usaha mempromosikan program-program HAM, baik pada tingkat lokal masing-masing negara ASEAN maupun di tingkat regional ASEAN. Kurangnya perhatian yang diberikan dalam usaha mempromosikan program-program HAM dikarenakan negara-negara ASEAN masih memberikan prioritas pada upaya untuk meningkatkan citra pemerintah negara-negara ASEAN, mendapatkan bantuan ekonomi dari negara-negara donor dan menanggulangi instabilitas yang mungkin timbul di masyarakat.
Prioritas tersebut diatas dilakukan justru untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat ASEAN. Namun demikian, untuk meningkatkan masyarakat seperti yang dikehendaki negara-negara ASEAN tersebut, sedikit banyak telah menimbulkan pelanggaran HAM dalam beberapa tingkatan dan bentuk. Apabila terjadi pelanggaran HAM, pemerintah negara-negara ASEAN merasa cukup dengan melakukan beberapa tindak antisipasi antara lain dengan membentuk suatu tim investigasi atau melakukan tindakan kusus untuk menghindari proses persidangan. Dalam perkembangannya, masyarakat kawasan menginginkan agar pemerintah dapat lebih memberikan perhatian pada masalah-masalah HAM. Masyarakat menganggap bahwa ekonomi merupakan tujuan pertama, tapi mereka juga menghendaki pemerintah dapat memberikan jaminan perlakuan yang adil dan menyeluruh bagi setiap pelaku dan tindak pelanggaran HAM.[18]
Selama ini, selain kerjasama politik keamanan terutama penanggulangan masalah terorisme,  dan ekonomi yang masih menjadi prioritas utama kerjasama ASEAN, terdapat pula kerjasama di bidang pendidikan, ilmu pendidikan, ilmu pengetahuan dan urisme. Namun kurang mencakup masalah HAM secara menyeluruh. Dalam unsur peningkatan kerjasama regional bidang HAM yang tercakup dalam pembahasan mid-term review of the HPA pada KTA ASEAN ke-7 tahun 2001 yang lalu di Brunei Darusaalam. Namun demikian, masalah HAM belum mendapat prioritas dalam pelaksanaan HPA untuk paruh waktu 3 tahun berikutnya, yaitu hingga tahun 2004 yang akan datang.
Masih belum siapnya ASEAN dalam melaksanakan mekanisme HAM ASEAN juga merupakan tantangan lain yang harus dihadapi ASEAN. Ketidaksiapan dimaksud antara lain juga disebabkan kurangnya perhatian dan kesadaran masyarakat ASEAN akan HAM. Terdapat pula pandangan bahwa isu HAM akan menimbulkan masalah bagi pemerintah ataupun mengancam kestabilan politik masing-masing negara ASEAN. Selanjutnya, pembentukan mekanisme HAM di tingkat regional masih dianggap dapat mencampuri masalah dalam negeri negara-negara ASEAN. Untuk menangkal semua anggapan salah mengenai HAM tersebut, perlu diupayakan suatu langkah, baik dalam negeri maupun antar anggota ASEAN yang dapat memberikan penjelasan mengenai HAM. Hal yang mutlak dilakukan saat ini adalah dengan menyebarluaskan kerjasama pendidikan dan pengetahuan mengenai masalah HAM.
Pembentukan suatu mekanisme / badan HAM ditingkat ASEAN harus merupakan kerjasama yang dinamis diantara pemerintah negara-negara ASEAN dengan masyarakatnya, demikian juga halnya dengan pelaksanaan HAM di tingkat nasional. Harus dipahami bersama bahwa pemerintah bukanlah merupakan pelaku tunggal dalam menjalankan roda pemerintahan. Pemerintah yang baik tidak dapat menjalankan fungsinya dengan seksama tanpa adanya fungsi kontrol dari masyarakat seperti kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga tinggi negara ataupun organisasi internasional dan regional.
Adanya anggapan selama ini di ASEAN bahwa pelaksanaan mekanisme HAM di kawasan ASEAN tidak akan berfungsi dengan baik karena keanekaragaman dan luasnya wilayah kawasan Asia Tenggara. Harus dipahami bahwa kawasan Asia Tenggara merupakan suatu kawasan yang mempunyai tingkat perbedaan heterogenitas yang tinggi, baik sistem pemerintahan, sosial maupun ekonomi. ASEAN telah membuktikan bahwa heterogenitas yang dimiliki layak untuk mulai memberikan kerangka dasar bagi pelaksanaan kerjasama di bidang HAM.
ASEAN juga telah menghasilkan beberapa kesepakatan dan kebijakan diantara sesama negara ASEAN yang pada intinya menyatakan concern mereka terhadap perkembangan HAM di kawasan HPA yang dideklarasikan pada tahun 1998, merupakan instrumen penting bagi negara-negara ASEAN dalam meningkatkan kerjasama di masa yang akan datang karena hal ini merupakan bagian dari pelaksanaan ASEAN Vision 2020. Sangat dihargai bahwa HPA sperti telah disebutkan di atas sebelumnya, telah memuat mengenai kemungkinan kerjsama yang lebih aktif dalam bidang kerjasama HAM.
Kendala utama yang dihadapi oleh sebagian besar negara-negara ASEAN adalah pelaksanaan kesepakatan ataupun persetujuan yag telah dicapai oleh ASEAN. Kurangnya tindak lanjut serta implementasai nyata dari kesepakatan yang telah dicapai ASEAN menyebabkan kurang maksimalnya hasil yang dicapai dalam kerjsama antar negara-negara ASEAN selama ini. Khusus untuk pelaksanaan kerjasama HAM ASEAN, semua bentuk pesetujuan yang dicapai seyogyanya harus dapat dimaksimalkan pelaksanaannya. Dalam kaitan ini, perlu diberikan prioritas dan momentum yang tepat dari masing-masing pemerintah negara ASEAN yang didukung an berkerjasama dengan seluruh lapisan anggota masyarakatnya untuk bertindak sesuai kerangka kerjasama ASEAN dibidang HAM.[19]
Tantangan lainnya adalah masih sangat terbatasnya pengetahuan masyarakat ASEAN mengenai pemahaman mekanisme HAM ASEAN, dimana pemahaman tersebut hanya diketahui oleh sebagian kecil interest group/kelompok kepentingan di tingkat ASEAN. Terbatasnya keikutsertaan masyarakat dalam proses pembentukan dan pmahaman mekanisme dimaksud dapat mengurangi peran serta aktif masyarakat luas dalam memberikan masukan dan ide-ide baru bagi kemajuan pelaksanaan mekanisme HAM ASEAN itu sendiri. Apabila melihat dari upaya-upaya yang telah dan sedang dilaksanakan ASEAN hingga saat ini, dapat diambil gambaran secara umum bahwa semua kegiatan ASEAN dalam bidang HAM, saat ini tengah bergerak kearah pemahaman kerjasama mengenai HAM di kawasan. Pemahaman ini selanjutnya akan mendukung usaha pembentukan mekanisme HAM ASEAN secara menyeluruh. Keyakinan akan tercapainya mekanisme tersebut didasari pula oleh suatu mekanisme dalam hal kebijakan ASEAN khususnya yang menyangkut masalah HAM. Perkembangan positif yang mengarah pada pembentukan kerangka mekanisme HAM ASEAN, dan kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Working Group for an ASEAN Human Rights Mechanism. Agak Ironis bahwa sampai sekarang hanya
Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand masing-masing telah membentuk Komisi Nasional HAM. Walaupun, Saat ini, seluruh negara ASEAN merupakan pihak dalam the Convention on the rights of the Child (CRC), Semua negara ASEAN, kecuali Brunei Darussalam juga merupakan pihak dalam the Convention on the Elimination All Form of Discrimination against Women (CEDAW). Sementara itu, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura telah membentuk kelompok Kerja Tingkat Nasional untuk persiapan pembentukan mekanisme HAM ASEAN. Negara-negara anggota ASEAN lainnya memiliki local points untuk penanganan masalah HAM.[20]
Indonesia sendiri pernah mendapat kepercayaan pada tahun 2003 untuk menjabat sebagai Ketua ASEAN Standing Committee periode 2003-2004. Untuk itu, Indonesia mempunyai kesempatan sekaligus tantangan ASEAN. Adapun hal-hal yang dapat menjadi prioritas kerjasama adalah sebagai berikut [21] :
  1. Meningkatnya proses CBM dalam rangka pencapaian kesamaan pandangan mengenai HAM.
Pelaksanaan kerjasama antara negara-negara ASEAN diyakini akan bertambah baik dengan dilengkapinya kerjasama HAM di tingkat ASEAN. Kerjasama HAM diharapkan menjadi elemen penting dalam usaha ASEAN untuk meningkatkan kerjasama ekonomi dan politik-keamanan yang telah berjalan selama ini. Hal tersebut sangat diperlukan oleh ASEAN, terutama dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan ekonomi kawasan disamping peningkatan citra ASEAN dalam hal penciptaan kawasan yang bebas dan damai.
Negara-negara ASEAN secara bersama harus dapat memahami bahwa pelaksanaan HAM ASEAN di kawasan tidak dimaksudkan untuk menurunkan kemampuan masing-masing negara ASEAN dalam bidang ekonomi ataupun politik, namun justru akan berfungsi sebagai aktor kerjasama yang dapat memperkuat bentuk-bentuk kerjasama lainnya di tingkat ASEAN. Pelaksanaannya dapat melalui penyelenggaraan konferensi, seminar, lokakarya, diskusi dan pertemuan-pertemuan di bidang HAM lainnya.
  1. Pelaksanaan Rencana Aksi Bersama ASEAN dibidang HAM (Joint Action Plan to Promote Human Rights)
Dalam beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan oleh ASEAN selama ini, telah dihasilkan beberapa inisiatif maupun usulan-usulan baru mengenai pelaksanaan HAM di lingkup ASEAN. Dalam hal ini, Indonesia dapat mendorong proses pelaksanaan Kelompok Kerja yang telah berjalan selama ini dan mengupayakan agar negara-negara ASEAN lainnya menindaklanjuti usaha-usaha ASEAN dalam membentuk Mekanisme HAM ASEAN. Lebih jauh, Indonesia dapat mengusahakan agar ASEAN Joint Action Plan to Promote Human Rights dapat segera disepakati oleh para Kepala Negara ASEAN sebagai langkah aksi dari proses mekanisme HAM ASEAN.
Apabila hal tersebut diatas dapat ditindaklanjuti oleh para pemimpin ASEAN, maka pelaksanaannya dapat meliputi : pembentukan gugus tugas atau unit di Sekretariat ASEAN, pembentukan Focal points komite nasional HAM di masing-maisng negara ASEAN : Pembentukan ASEAN Eminent Persons Group di negara-negara ASEAN yang berfungsi sebagai kelompok pakar dengan tugas menyusun draft perjanjian Komisi HAM ASEAN (ASEAN Human Rights Commision) dan isu-isu  HAM lainnya di kawasan : Pemberdayaan sistem jaringan informasi (networking system) ASEAN; serta memulai kerjasama ASEAN dalam hal-hal yang menunjang pemasyarakatan HAM ASEAN seperti pendidikan dan penyuluhan HAM kepada masyarakat kawasan ASEAN dan sebagainya.
Pada Pertemuan Konferensi Tinggat Tinggi Informal ke-2 ASEAN yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, 15 Desember 1997, Para pemimpin ASEAN telah menyetujui pelaksanaan ASEAN Vision 2020. Visi tersebut menjelaskan bahwa ASEAN, sebagai suatu kelompok bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara, mempunyai pandangan yang jauh kedepan, hidup dalam lingkungan yang damai, stabil dan sejahtera, disatukan dalam suatu bentuk kemitraan yang berkembang secara dinamis dan berada dalam suatu komunitas masyarakat kawasan yang saling peduli.
Untuk mewujudkan visi jangka panjangnya, ASEAN melaksanakan beberapa rencana aksi. Salah satu rencana aksi ASEAN yang utama adalah Hanoi Plan of Action (HPA) yang merupakan langkah pertama dari rangkaian rencana aksi ASEAN dalam melaksanakan visi ASEAN 2020. HPA terdiri dari 10 elemen kerjasama diberbagai bidang (termasuk kerjasama di bidang HAM) dengan tujuan utama bangkit dari krisis ekonomi yang melanda Asia sejak 1997. HPA akan dilaksanakan untuk jangka waktu 6 (enam) tahun dari tahun 1997 hingga 2004 yang akan datang. Perkembangan yang telah dilaksanakan dievaluasi 3 tahun (mid-term review jatuh pada tahun 2002) bersamaan dengan pelaksanaan KTT ASEAN.
Untuk mendukung realisasi butir-butir HPA khususnya butir-butir mengenai HAM ke dalam bentuk pelaksanaan yang konkrit, Indonesia dapat menfasilitasi kegiatan berupa pertemuan pendahuluan yang akan memberikan arahan bagi tercapainya kerjasama antar pemerintah negara-negara ASEAN dalam bidang HAM. Indonesia mempunyai kapasitas yang memadai untuk menyelenggarakan kegiatan seperti berikut diatas, karena persoalan penegakan HAM dan Demokrasi dewasa ini telah menjadi kepentingan nasinal bangsa Indonesia yang specific, melalui Departemen Luar Negeri, Departemen Kehakiman dan HAM, Komisi Nasional HAM Indonesia dan institusi terkait lainnya termasuk keikutsertaan Sekretariat ASEAN.
F. Indonesia dan Kerjasama ASEAN di Bidang HAM
Selama tiga dasawarsa, ASEAN telah memberikan prioritas kerjasama dalam bidang ekonomi dan perdagangan serta kerjasama regional dan diplomasi. Kerjasama di bidang HAM kurang mendapat perhatian. Dalam perkembangannya, ASEAN dihadapkan pada keadaan yang lebih kompleks. Masalah HAM mendapat perhatian yang semakin besar. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman untuk dapat mengintegrasikan penghormatan dan perlindungan serta pemajuan HAM, negara-negara ASEAN dapat mengalami hambatan perdagangan dari negara-negara ekonomi maju. ASEAN menyadari bahwa tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan pembangunan ekonomi. Hal ini dimasa lalu sedikit banyak telah mengesampingkan kerjasama HAM. ASEAN masih perlu meningkatkan kerjasama HAM secara lebih intensif. Dimasa lalu, pertumbuhan ekonomi yang pesat telah menimbulkan perbedaan pandang antara pemerintah dan masyarakat mengenai penanganan HAM di kawasan.
Khusus bagi Indonesia, banyak cara yang bisa dilakukan dalam upaya memberdayakan nilai-nilai HAM. Salah satunya melalui peningkatan dan pemberdayaan informasi HAM. Beragam cara bisa dilakukan, baik secara informal dan formal maupun melalui sarana pemerintah maupun masyarakat luas. Pembudayaan nilai-nilai HAM dan demokrasi melalui jalur pendidikan tinggi menjadi kebutuhan strategis bagi Indonesia. Pemasyarakatan HAM menjadi jalur pendidikan penting untuk mengembangkan persepsi, gagasan dan mempelajari kasus-kasus maupun konsep akademis mengenai HAM yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Pendidikan HAM secara nasional akan menciptakan full development of human personality and the strengthening of respect for human rights and fundmental freedoms.[22]
Pendidikan HAM (human rights education) merupakan kewajiban moral bagi Indonesia yang telah berpartisipasi dalam The World Conference on Human Rights (Wina, Juni 1993) dan menghasilkan the Vienna Declaration and Programme of Action mengenai HAM.dalam deklarasi itu dinyatakan bahwa pendidikan, pelatihan dan informasi tentang HAM amat diperukan bagi terbinanya hubungan harmonis antar bangsa dan dapat memperkuat saling pengertian, toleransi dan perdamaian. Selain itu setiap negara dihimbau untuk memasukkan HAM, hukum humaniter, demokrasi dan rule of law sebagai mata pelajaran di semua lembaga pendidikan formal maupun non-formal. Menindaklanjuti hal itu, Majelis Umum PBB dengan resolusi No. 49/184 tanggal 23 Desember 1994, menyatakan, periode 10 tahun sejak 1 Januari 1995 sebagai The United Nations Decade for Human Rights Education.[23]
Memahami “kewajiban” itu, secara mendalam ternyata banyak yang harus dilakukan sehingga pendidikan HAM memang bernilai strategis dan berdampak transformatif sehingga dapat mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang warganya menghormati dan menegakkan HAM. Dewasa ini, dapat dikenali tiga tingkatan atau model pendidikan HAM di dunia[24]. Yang pertama, model “Nilai dan Kesadaran” (Values and Awareness). Pada model ini, yang menjadi inti pendidikan HAM adalah pengajaran tentang pengetahuan dasar mengenai isu-isu HAM dan kaitannya dengan nilai-nilai bermasyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dalam model ini adlah munculnya aspek pada HAM melalui kesadaran dan komitmen pada tujuan-tujuan normatif yang tercantum dalam dokumen-dokumen HAM universal.
Model kedua yang lebih bisa dikembangkan di Indonesia adalah modal “Tanggung jawab” (Accountability). Peserta pendidikan HAM dalam model ini diharapkan dapat menegakkan HAM. Dalam model ini ditekankan cara-cara dimana para profesional menegakkan tanggung jawabnya di bidang HAM seperti dalam pemantauan pelanggaran HAM, pengambilan langkah-langkah khusus perlindungan HAM bagi mereka yang lemah dan sebagainya. Model ketiga adalah “Transformasional”. Dalam model ini diasumsikan para peserta telah mempunyai pengalaman pribadi dalam hal pelanggaran HAM (Model ini membantu mereka untuk mengakui pengalaman itu) dan mereka disiapkan atau “diubah” menjadi pembela HAM (promotors of human rights). Karena itu yang ditekankan adalah “pemberdayaan” (empowering) individu untuk mengakui pengalaman itu dan menumbuhkan komitmen bagi pencegahnya.
Untuk menopang kepentingan nasional Indonesia yang specifik dalam pembentukan Bdan HAM ASEAN,  Indonesia wajib meneruskan kegiatan pertukaran informasi dengan memanfaatkan kerangka kerjasama regional yang sudah ada seperti ASEAN Vision 2020 yang telah dijabarkan melalui Hanoi Plan of Action (HPA). Kerjasama tersebut antara lain dengan membangun jaringan kerjasama atau informasi di tingkat nasional dan lokal di masing-masing negara ASEAN untuk memberikan informasi / pendidikan HAM yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan HAM.
G. Usulan Dan Keterlibatan Indonesia Dalam Pembentukan ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION on HUMAN RIGHTS (AICHR)
Pada Konferensi Dunia mengenai HAM yang dilaksanakan di Wina, Austria pada 14-15 Jni 1993 yang mengesahkan Vienna Declaration and Programme of Action of the World Conference on Human Right. Dalam konferensi tersebut menegaskan perlunya mempertimbangkan kemungkinan pembentukan sebuah pengaturan ditingkat regional dan sub regional guna memajukan dan melindungi HAM apabila hal tersebut belum ada, dalam konferensi ini seluruh anggota ASEAN turut menghadiri sebagai tindak lanjut dari konferensi ini para menteri Negara-negara Asia Tenggara bertemu di Bangkok pada bulan April 1993 dan mengesahkan Deklarasi Bangkok yang menyampaikan aspirasi dan komitmen Asia Tenggara terhadap HAM.
Kepedulian Negara-negara anggota ASEAN terhadap masalah HAM yang tercermin dalam partisipasi di Konferensi Dunia tersebut, telah, menjadi dasar kesepakatan ASEAN mengenai perlunya pemberdayaan HAM di kawasan Asia Tenggara. Sebagai tindak lanjut, ASEAN kemudian mendeklarasikan keinginan untuk membentuk suatu mekanisme HAM regional. Dalam pertemuan menteri ASEAN ke-26 di Singapura pada bulan Juli 1993 antara lain menyatakan “ Dalam rangka mendukung Deklarasi Wina dan Program Aksi 25 Juni 1993 ASEAN juga harus mempertimbangkan pembentukan suatu mekanisme HAM regional yang tepat[25].
Serangkaian pertemuan yang telah dulaksanakan dan dihadirioleh para perwakilan dari institusi-institusi Nasional HAM, komite-komite HAM dalam parlemen, dan LSM-LSM HAM dalam kawasan Asia Tenggara, betujuan untuk membahas usul pembentukan mekanisme HAM di Asia Tenggara. Kemudian pada tahun 1996 disepakati pembentukan suatu Kelompok Kerja Bagi Mekanisme HAM ASEAN/Working Group For An ASEAN Human Rights Mechanism.
Working Group/kelompok kerja ini merupakan suatu organisasi informal yang berstukrut kelompok-kelompok atau individual yang dimana kinerja maupun tindakannya dikoordinasi oleh instansi pemerintah dan NGO. Kelompok kerja ini diatur oleh ASEAN yang mana dirumuskan atau diwakili oelh pemerintah, anggota parlemen, LSM-LSM pemerhati HAM, para akademisi dan NGO.
Maksud dan tujuan ASEAN sebagaimana ditegaskan dalam deklarasi Bangkok 1967 telah merefleksikan perhatian terhadap masalah-msalah yang berkaitan dengan HAM. Deklarasi tersebut secara tegas merujuk kepada kemajuan social dan pembangunan budaya, penghormatan kepada keadilan dan hukum serta peningkatan standar hidup masyarakat. Tujuan-tujuan tersebut menjadi focus dari berbagai program kerjasama fungsional yang menggambarkan keinginan kuat pemerintah di negara-negara ASEAN untuk memajukan HAM [26]. Pembentukan Komisi HAM ASEAN merupakan pelaksanaan perintah dari ASEAN Charter yang baru diratifikasi yang tepatnya pada tanggal 15 Desember 2008, dimana pasal 14 dari piagam tersebut secara jelas memerintahkan kepada ASEAN, dalam hal ini Forum Menteri Luar Negeri ASEAN, untuk membentuk sebuah Komisi HAM ASEAN. ASEAN Intergovernmental Commission on Human Right (AICHR) adalah bagiasn dari pelaksanaan ASEAN Charter, dan dilantik pada 23 oktober 2009 pada saat penyelenggaraan ASEAN Summit ke-16.
Indonesia konsisten dengan program politik dan keamanan, dimana di dalam pilar tesebut ada yang disebut sebagai sharing norms dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya mengenai proses perkembangan politik dan demokrasi. Demokrasi, good governance dan rule of law adalah nilai-nilai dasar atau prinsip dari sebuah negara modern. Inilah yang dicoba untuk di share dengan anggota-anggota ASEAN lainnya.
Sejak awal sebelum adanya ASEAN Charter, Indonesia sudah sangat aktif dan menjadi penggagas dibentuknya pilar politik dan keamanan. Kepentingan untuk sharing pengalaman politik dan kemanan dan demokrasi yang ada di Indonesia, kebutuhan pada sebuah piagam yang tadinya berspektif pada persoalan ekonomi ini yang kemudian menjadi match dengan kepentingan proses sharing norms tersebut. Inilah kepentingan Indonesia di dalam perkembangan politik di ASEAN, yaitu supaya pengalaman Indonesia dari sebuah negara yang otoriter menjadi sebuah negara yang lebih demokratis, menghargai HAM, menjunjung tinggi good governance, dicoba untuk di share dengan anggota-anggota ASEAN lainnya.  Salah satu bentuk kongkrit dari sharing norms tersebut adalah pembentukan ASEAN Charter yang didalamnya terdapat komponen yang sangat penting, yaitu pembentukan Komisi HAM ASEAN. Sebelum tahun 2005, bias dikatakan sangat sulit untuk membicarakan masalah human rights sebagai agenda di ASEAN.
Dilemparkannya isu HAM didalam ASEAN ketika itu, adalah melalui pilar sosial budaya. Ini merupakan suatu proses yang perlahan-lahan, selangkah demi selangkah, hingga kemudian pada tahun 2005 muncul ide untuk membentuk sebuah piagam HAM ASEAN. Intinya Indonesia ingin menjadi bagian penting dari proses sharing the norms mengenai demokrasi, HAM, dan good governance dengan negara-negara ASEAN yang lain, sehingga menjadi sebuah komunitas yang mempunyai level yang sama, baik tujuan ataupun visinya, didalam persoalan demokrasi dan HAM.
Indonesia mengalami transisi dari otoriter ke demokrasi itu pada tahun 1998, diskusi mengenai perlunya penghormatan terhadap HAM baru muncul pada tahun 2001. Jadi sebuah proses yang cukup lama untuk bisa mencapai ASEAN Charter pada tahun 2008. Dibutuhkan hamper satu dekade untuk bias mendiskusikan dan meyakinkan sharing the norms. Satu langkah keberhasilan dari sharing the norms tersebut adalah Piagam ASEAN HAM ASEAN itu sendiri. Langkah berikutnya adalah dengan penyusunan Kerangka Acuan (Terms of Reference) Badan HAM ASEAN yang kini berganti nama menjadi Komisi HAM ASEAN pada Panel Tingkat Tinggi ASEAN.
Draft pertama kerangka acuan ini diserahkan kepada Rapat Menteri Luar Negeri ASEAN di tengah-tengah Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN (KKT ASEAN) di Hua Hin, Thailand.  Panel Tingkat Tinggi ini harus menyerahkan draft akhir Kerangka Acuan Badan HAM ini kepada Rapat Tingkat Menteri Luar Negri ASEAN bulan Juli 2009 di Thailand, dan direncanakan pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN bulan Oktober 2009 mendatang, Badan HAM ini telah berdiri. Komunitas masyarakat sipil ASEAN termasuk Indonesia telah mengawal proses penyusunan Kerangka Acuan ini dengan ketat dengan satu tekad bahwa Badan HAM di tingkat ASEAN yang akan dibentuk ini tidak menjadi macan kertas untuk menutupi berbagai bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi wilayah ASEAN termasuk Indonesia, dimana mandat dan fungsi proteksi Badan HAM ini amat rancu walaupun Piagam ASEAN telah memerintahkan adanya fungsi proteksi, bukan semata-mata janji belaka.
Realisasi rencana pembentukan komisi HAM regional Association of South East Asia Nations (ASEAN) dilakukan dalam 42nd Meeting of the ASEAN Foreign Ministers di Thailand, para menteri luar negeri se-ASEAN telah menyepakati Term of Reference (TOR) pembentukan komisi yang diamanatkan oleh Pasal 14 Piagam ASEAN ini. Pada kesempatan yang sama, para Menlu juga sepakat nama komisi yang digunakan adalah ASEAN Inter-Governmental Commission on Human Rights (AICHR). Keputusan Menlu-Menlu ASEAN ini akan memberi kontribusi menuju penguatan Komunitas ASEAN. Demokrasi dan HAM adalah dua prinsip dasar yang dijaga di dalam Piagam ASEAN dan kita sekarang mengambil langkah-langkah menuju pemenuhan prinsip-prinsip tersebut untuk bangsa ASEAN.
Setelah TOR disepakati, langkah berikutnya adalah masing-masing negara anggota ASEAN menunjuk perwakilan untuk hadir dalam acara pendeklarasian AICHR. Rencananya, deklarasi akan digelar pada 15th ASEAN Summit di Phuket, Thailand pada 23-25 October 2009. Sebuah naskah deklarasi politik telah dirancang oleh Panel yang sebelumnya menyusun TOR.
Dalam TOR sebagaimana dikatakan bahwa, AICHR dibentuk dengan enam tujuan. Pertama, mempromosikan serta melindungi HAM dan hak kebebasan bangsa ASEAN. Kedua, menjunjung hak bangsa ASEAN untuk hidup secara damai, bermartabat, dan makmur. Ketiga, mewujudkan tujuan organisasi ASEAN sebagaimana tertuang dalam Piagam yakni menjaga stabilitas dan harmoni di kawasan regional, sekaligus menjaga persahabatan dan kerja sama antara anggota ASEAN. Keempat, mempromosikan HAM di tingkat regional dengan tetap mempertimbangkan karakteristik, perbedaan sejarah, budaya, dan agama masing-masing negara, serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban. Kelima, meningkatkan kerja sama regional melalui upaya di tingkat nasional dan internasional yang saling melengkapi dalam mempromosikan dan melindungi HAM. Keenam, menjunjung prinsip-prinsip HAM internasional yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights, Vienna Declaration serta program pelaksanaannya, dan instrumen HAM lainnya, dimana anggota ASEAN menjadi pihak.
TOR juga menetapkan sejumlah prinsip yang harus dijadikan rujukan AICHR dalam pelaksanaan tugasnya. Prinsip-prinsip tersebut bersumber pada Pasal 2 Piagam ASEAN di antaranya menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial, dan identitas nasional setiap negara anggota ASEAN. Sumber lainnya adalah prinsip-prinsip HAM internasional antara lain prinsip universalitas, saling keterkaitan serta integralitas nilai-nilai HAM.  AICHR, menurut TOR, menjalankan sejumlah mandat dan fungsi. Di antaranya, mengembangkan strategi dalam mempromosikan dan melindungi HAM sebagai bagian dari proses pembentukan Komunitas ASEAN. AICHR juga dimandatkan untuk menyusun Deklarasi HAM ASEAN dan kerangka kerja kerja sama di bidang HAM. TOR menetapkan komposisi AICHR terdiri dari para perwakilan negara anggota ASEAN yang ditunjuk secara resmi. Dalam menunjuk perwakilannya, setiap negara anggota ASEAN diminta mempertimbangkan kesetaraan gender serta integritas dan kompetensi calon perwakilan. setelah terpilih, perwakilan tersebut akan menjabat selama tiga tahun dan hanya dapat ditunjuk kembali hanya untuk satu periode berikutnya. Selama menjabat, perwakilan akan diberikan kekebalan dan hak-hak istimewa yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan tugas AICHR[27].
Setiap negara ASEAN wajib menempatkan wakilnya dalam AICHR yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 14 Piagam ASEAN. Indonesia menetapkan Rafendi Djamin sebagai wakil Indonesia dalam Komisi HAM antarpemerintah ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR). Proses penetapan ini diawali dengan proses konsultasi nasional yang diselenggarakan di Jakarta di mana setiap kandidat harus dicalonkan oleh minimal dua organisasi.
Para Menlu ASEAN telah menyepakati Kerangka Acuan Pembentukan AICHR pada pertemuan ke-42 ASEAN Ministerial Meeting (AMM) di Phuket, Thailand, 19 Juli 2009. Kemudian pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-15 di Cha-am Hua Hin, Thailand, 23 Oktober, para Kepala Negara/Pemerintahan negara-negara anggota ASEAN akan meresmikan AICHR. Setelah 10 negara ASEAN menunjuk wakilnya maka AICHR akan bertemu untuk perkenalan di sela-sela KTT ke-15 dan kemudian menggelar pertemuan pertama di Jakarta guna menetapkan rencana kerja.
AICHR minimal melakukan pertemuan dua kali dalam satu tahun guna melaksanakan mandat Kerangka Acuan AICHR yang untuk lima tahun ke depan lebih menitikberatkan pada upaya promosi HAM di kawasan. Berbagai pemangku kepentingan HAM di Indonesia yang berasal dari unsur pemerintah, Komnas HAM, dan organisasi non pemerintah seperti Komnas Perempuan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), INFID, KONTRAS, YLBHI, LBH-APIK, YPHA, CSIS, dan lain-lain melakukan konsultasi pemilihan wakil Indonesia dalam AICHR.
Kriteria calon yang diinginkan antara lain memiliki integritas tinggi, pemahaman dan pengalaman yang luas mengenai HAM, mempunyai pemahaman yang baik mengenai proses pembentukan badan HAM ASEAN, mempunyai peran penting dalam pembangunan HAM di Indonesia, reputasi atau pengakuan secara nasional, regional dan internasional, dan kemampuan berbahasa Inggris.
AICHR merupakan lembaga konsultasi antarpemerintah dan bagian integral dalam struktur Organisasi ASEAN. Komisi ini bertugas merumuskan upaya-upaya pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan melalui edukasi, pemantauan, diseminasi nilai-nilai dan standar HAM internasional sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi Universal tentang HAM, Deklarasi Wina dan instrumen HAM lainnya.
AICHR berfungsi sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. AICHR akan bekerjasama dengan badan-badan ASEAN lainnya yang terkait dengan HAM dalam rangka melakukan koordinasi dan sinergi di bidang HAM.
Sekalipun Indonesia menginginkan agar AICHR tidak hanya memiliki fungsi promosi HAM namun Indonesia mengakui jika pembentukan AICHR merupakan suatu langkah ke depan bagi ASEAN dalam rangka mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan[28].

[1] www.google.co.id, Komisi HAM ASEAN dan Diplomasi Indonesia, diakses pada 17 April 2010. [2] http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,Piagam-ASEAN-Atur-Pembentukan-Badan-HAM, diakses 14 juli 2010
[3] http://www.komnasham.go.id/portal/id/content/badan-ham-asean-lemah, diakses 13 Juli 2010
[4] Rakaryan Sukarjaputra Badan HAM ASEAN Jauh di Bawah Standar, http://pecsecretariat.multiply.com/journal, diakses 11 Juli 2010
[5] http://static.rnw.nl/migratie, Pembentukan Badan Ham Asean, diakses 14 juli 2010
[6] Edy Prasetyono, Jalan Panjang Badan HAM ASEAN, www.ahmadheryawan.com, diakses 12 juli 2010.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] http://www.solocityview.com, diakses pada 10 juli 2010
[10] Igor Dirgantara, Ham dan Demokrasi di Asia Tenggara, Oseafas.wordpress.com, diakses 9 juli 2010
[11] Kerjasama ASEAN Dalam Upaya menuju Terbentuknya Mekanisme HAM di  ASEAN, Jakarta, 2003, LIPI- Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN DEPLU-RI, hal 16-19
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Igor Dirgantara, HAM dan Demokrasi Di Asia Tenggara, Oseafas.wordpress.com, diakses 9 juli 2010.
[18] Ibid, hal 55-57
[19] Cicilia Rusdiharini, Indonesian Perspective on the Establishment of an ASEAN Human Rights Mechanism. Individual Paper, Pusdiklat Deplu, September 2002.
[20] Ibid
[21] Ibid, Hal 57-62
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Mudzakir. “Mengangankan Pendidikan HAM di Indonesia”, Harian Kompas, 14 Nopember 2002.
[25] Abdurrchman Mattaliti, Kerjasama ASEAN Dalam Upaya Menuju Terbentuknya Mekanisme HAM Di ASEAN (Jakarta: Departemen Luar Negeri), hal.45.
[26] Abdurrchman Mattaliti, Kerjasama ASEAN Dalam Upaya Menuju Terbentuknya Mekanisme HAM Di ASEAN (Jakarta: Departemen Luar Negeri), hal. 44.
[27] www.hukumonline.com, diakses tanggal 31 Mei 2010. pada pukul 20.00 WIB.
[28] www. Berita Sore, diakses tanggal 31 Mei 2010 pada pukul 21.00 WIB.